top of page

Tinjauan Umum

 

Istilah “cerita silat” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata-kata bahasa Mandarin, yaitu 武侠 小说 wuxia xiaoshuo. Xiaoshuo berarti cerita, sedangkan kata wuxia terdiri atas dua huruf Mandarin, yaitu 武 wu dan 侠 xia. Huruf pertama, yaitu wu berarti ilmu silat atau wushu; huruf kedua, yaitu xia, berarti semangat atau nilai kependekaran. Di bawah ini ulasan ketiga unsur ini; “nilai kependekaran”, “ilmu silat”, dan “cerita”; terutama dari sudut pandang Jin Yong sendiri.

 

 

Nilai Kependekaran

 

Jika seseorang membaca cerita silat atau menonton filmnya, yang paling jelas terlihat dan terasa adalah pertarungan ilmu silatnya. Namun, sebenarnya, “nilai kependekaran” jauh lebih penting daripada “ilmu silat”-nya. Penulis cerita silat terkenal, Liang Yusheng, mengatakan bahwa pada cerita silat boleh tidak ada wu ‘ilmu silat’, tetapi tidak boleh tidak ada xia ‘nilai kependekaran’.

Menurut Jin Yong, cerita silat adalah kisah dengan pertarungan "ilmu silat" pada tampak luarnya dan "nilai kependekaran" pada intinya. Ia menganggap terjemahan kata wuxia xiaoshuo ke dalam bahasa Inggris menjadi martial-arts novel tidak cocok, dan lebih cocok disebut knight-errant novel.

“Nilai kependekaran” menjadi ciri utama dan bagian terpenting dalam cerita silat dan menjadi lambang pemikiran dan tujuan tertinggi manusia. Lalu apa “nilai kependekaran” ini?

Jin Yong menganggap bahwa “nilai kependekaran” adalah seseorang melakukan sesuatu berdasarkan hati nurani, bukan untuk mendapatkan imbalan maupun menghindari hukuman. Misalnya, jika berdasarkan hati nurani, seseorang tahu bahwa sesuatu itu tidak baik dilakukan, langsung saja jangan dilakukan; bukan karena takut ketahuan, juga bukan karena ingin dipuji sebagai orang baik; bukan karena ingin mendapat imbalan di surga, juga bukan untuk menghindari hukuman di neraka.

Jin Yong menganggap “nilai kependekaran” berbeda dengan “nilai kepahlawanan”. “Nilai kepahlawanan” masih melakukan sesuatu untuk diri sendiri, keluarga sendiri, negara sendiri, sedangkan “nilai kependekaran” adalah melakukan sesuatu untuk orang lain dan tidak ada keuntungan untuk diri sendiri.

Nilai yang dekat dengan xia ‘nilai kependekaran’, yang juga ditekankan pada cerita silat adalah yi ‘nilai kesetiakawanan’. Wuxia xiaoshuo juga sering disebut xiayi xiaoshuo.

Mengenai yi, Jin Yong menjelaskan bahwa dulu orang-orang di dunia persilatan berkelana, tidak ada keluarga untuk diandalkan. Seperti kata-kata, “di rumah bergantung pada orangtua, di luar rumah bergantung pada teman”. Jadi, yang diandalkan orang-orang ini adalah teman. Bersatu dengan teman harus menjunjung yi. Harus mengorbankan diri sendiri, membantu orang lain, dan orang lain bisa membantu kita. Nilai kesetiakawanan ini tidak hanya ada pada cerita silat, tetapi merupakan moral tradisional Tiongkok dan merupakan pemersatu negara.

Jin Yong mengatakan bahwa bagi orang Tionghoa, memaki para dewa atau orang-orang suci adalah diperbolehkan, tetapi perbuatan tidak berbakti kepada orangtua atau mengkhianati teman dianggap benar-benar tabu. Jin Yong mengambil contoh pentingnya nilai kesetiakawanan ini dari Kisah Tiga Negara. Pada cerita ini Guan Yu tidak begitu cerdas, Zhuge Liang beratus kali lebih cerdas. Dalam ilmu silat, Guan Yu juga bukan yang paling hebat. Namun, di mata orang Tionghoa yang dianggap sebagai dewa adalah Guan Yu, karena Guan Yu menjadi lambang pentingnya nilai kesetiakawanan.

 

Ilmu Silat

 

Jin Yong tidak menguasai ilmu silat. Ia mengatakan bahwa ilmu silat pada ceritanya berasal dari dua sumber. Yang pertama adalah ilmu silat Tiongkok yang ada catatannya dan sekarang pun banyak yang bisa melakukan, seperti Tinju Taiji, Tinju Shaolin, Tinju Wudang, dan lain-lain. Mengenai ilmu silat ini ia pernah melihat sedikit bukunya, termasuk gambar, juga penjelasan kata-katanya.

Namun, ia mengambil dari ilmu silat nyata hanya sedikit dan kebanyakan ilmu silat pada ceritanya adalah imajinasinya sendiri, seperti ilmu Delapan Belas Tapak Penakluk Naga. Dalam menulis ilmu silat, ia membayangkan ada yang menggunakan jurus ini, lalu bagaimana harus melawannya.

Ilmu silat pada cerita Jin Yong rentangnya luas, mulai dari ilmu pedang, golok, tinju, tapak, jari, tangan, tendangan, tenaga dalam, tongkat, tombak, pecut, formasi perang, racun, obat-obatan, dan lain-lain. Ia sering menggabungkan ilmu-ilmu silat ini dengan unsur-unsur budaya Tiongkok, seperti kecapi, catur, kaligrafi, lukisan. Ia juga sering menggunakan istilah pada Buddhisme, Daoisme, dan Konfusianisme sebagai nama jurus-jurusnya.

Ada yang bertanya kepada Jin Yong, mengapa pada ceritanya sering ada penggambaran ilmu silat yang misalnya seperti pada Rajawali Sakti dan Pasangan Pendekar dikisahkan ilmu silat terhebat milik Dugu Qiubai adalah “tanpa pedang melebihi berpedang” atau pada Golok Naga dan Pedang Langit, saat mengajarkan ilmu Pedang Taiji kepada Zhang Wuji, Zhang Sanfeng menanyakan “sudah lupa berupa banyak”.

Jin Yong menjawab bahwa ini dipengaruhi pandangan tradisional Tiongkok kuno. Filsafat Tiongkok kuno kebanyakan menganggap setelah mencapai keadaan tertingginya, kehidupan manusia menjadi tipis, langit dan manusia menjadi satu, manusia dan benda menjadi satu. Wuwei atau “tanpa tindakan” sebenarnya adalah keadaan ideal seperti ini. Keadaan ini adalah sesuatu yang baik maka tentu ia berharap ilmu silat tokoh utamanya juga seperti ini.

 

Cerita

 

Cerita silat Jin Yong berada pada peralihan antara “sastra rendah” dan “sastra tinggi”. Karena isinya yang sering kali absurd dan hanya berfungsi sebagai hiburan, genre cerita silat dianggap sebagai sastra rendah, berbeda dengan karya-karya sastra serius yang kebanyakan bergaya realis.

Keberhasilan Jin Yong adalah kemampuannya mengangkat cerita silat, dari sastra populer menjadi sastra yang diakui. Ia mengambil cerita silat tradisional Tiongkok dan mengembangkannya hingga menjadi cerita silat seperti bentuknya saat ini.

 

Jin Yong sendiri menyadari keterbatasan dari bentuk awal cerita silat itu sendiri. Ia menganggap walaupun ada sedikit nilai sastra, cerita silat merupakan alat hiburan dan lebih baik tidak membandingkannya dengan sastra formal. Tapi pada kesempatan lain ia juga mengatakan bahwa dalam cerita silat banyak hal kebetulan dan aneh, tetapi sifat tokoh-tokohnya sangat mungkin nyata. Mungkin maksudnya, meskipun cerita silat itu sering dianggap sastra “rendah”, tetapi penggambaran sifat (dan perasaan tokohnya) bisa sebagus sastra serius.

Saat mengulas cerita Jin Yong, Ni Kuang, sahabat Jin Yong, yang juga penulis cerita dan penulis skenario Hong Kong, mengatakan, “Orang yang tidak bisa membaca cerita akan membaca plotnya, orang yang bisa membaca cerita akan membaca tokohnya.” Jin Yong juga menekankan pentingnya tokoh.

Jin Yong mengatakan bahwa novel itu mengutamakan penulisan tokoh dan perasaan, sedangkan alur dan latar hanyalah cara untuk melukiskan tokoh dan perasaan. Saat menulis cerita, ia lebih dulu menciptakan beberapa tokoh utama, menggambarkan sifatnya, kemudian menambahkan plot-nya. Ia membayangkan beberapa orang, kemudian beberapa orang ini bertindak berdasarkan sifat mereka. Kadang-kadang tokoh ini tidak terkendali, berkembang sendiri, dan sangat wajar.

Ada yang bertanya kepada Jin Yong mengapa dalam kisah Delapan Naga Langit, tokoh Qiao Feng yang begitu kesatria dan baik hati akhirnya bunuh diri, Jin Yong mengatakan bahwa orang Tionghoa percaya sifat dasar seseorang akan menentukan nasib orang itu sendiri. Karena Qiao Feng sifat dasarnya seperti itu (mungkin maksudnya terlalu keras hati), maka akhirnya ia bunuh diri adalah hal alamiah.

Saat ditanya apakah karyanya termasuk karya kelas satu, Jin Yong menjawab jika dibandingkan dengan sastra formal, cerita silatnya tidak begitu bagus, tetapi jika dilihat dalam genre cerita silat, karyanya adalah yang terbaik.

Keterangan: Lukisan pada bagian atas halaman-halaman Ulasan adalah lukisan cerita silat Jin Yong oleh Pui Sun Tung.

bottom of page